Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bukan
berarti Indonesia benar-benar merdeka. Belanda masih ingin berkuasa di
Indonesia setelah Jepang dikalahkan sekutu. Tentara Belanda ikut
membonceng bersama Pasukan Sekutu yang bertugas melucuti dan memulangkan
tawanan Jepang dari Indonesia.
Pasukan Belanda yang dinamakan Netherlands-Indies Civil
Administration atau NICA sangat buas meneror penduduk Indonesia yang pro
kemerdekaan. Situasi Jakarta menjadi sangat tidak aman. Mereka menembak
membabi buta. Jika ada pemuda yang mengenakan lencana merah putih, maka
mereka akan memaksa agar orang itu menelan lencananya.
NICA mencoba membunuh Soekarno berkali-kali. Soekarno harus tidur berpindah-pindah untuk menghindari teror NICA. Mereka mencoba menabrak mobil yang dikendarai Soekarno. Untungnya Soekarno selamat.
Tanggal 3 Januari 1946, karena menyadari situasi gawat darurat, Soekarno
menggelar rapat memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Hanya
Yogya yang dirasa aman dari gangguan Belanda. Fasilitas di kota ini pun
cukup memadai untuk menjadi ibu kota sementara.
"Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun
dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak," kata Soekarno seperti ditulis Cindy Adams dalam biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Masalah selanjutnya bagaimana berangkat dari Jakarta ke Yogya tanpa diketahui tentara NICA. Jika ketahuan Soekarno dan seluruh pejabat RI akan dibunuh.
Maka disusun satu rencana nekat. Setelah gelap, sebuah gerbong kereta
dan lokomotif yang dimatikan lampunya berhenti di belakang rumah Soekarno
yang terletak di pinggir rel. Tentara NICA menyangka kereta tersebut
hanya kereta biasa yang lewat kemudian akan kembali ke stasiun.
"Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong," kata Soekarno menggambarkan ketegangan saat itu.
"Seandainya kami ketahuan, seluruh negara dapat dihancurkan dengan
satu granat. Dan kami sesungguhnya tidak berhenti berpikir apakah
pekerjaan itu akan berlangsung dengan aman. Sudah tentu tidak. Tetapi
republik dilahirkan dengan risiko. Setiap gerakan revolusioner
menghendaki keberanian."
Maka tanggal 4 Januari 1946, kereta api membawa Soekarno
dan rombongan ke Yogyakarta di malam buta. Semua penumpang diliputi
ketegangan. Tapi rupanya Tuhan memberikan kekuatan pada rombongan kecil
itu mencapai Yogyakarta.
Yogyakarta kemudian dikenal sebagai Kota Hijrah dan Ibu Kota
Perjuangan. Di sinilah hampir dua tahun Republik Indonesia yang masih
bayi mengatur pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar